Sampai pertengahan Juli, jumlah korban dari adanya pandemi COVID-19 di Indonesia kian meningkat. Hal ini mengisyaratkan bahwa negara kita masih belum menang dalam menghadapi badai yang satu ini.
Segala kebijakan yang sejak awal sudah menjadi tradisi masih terus di galakkan. Seperti ; memakai masker, selalu jaga jarak dan tidak membuat kerumunan yang berisikan orang banyak.
Bersekolah misalnya, kegiatan yang sudah menjadi aktivitas rutin para penerus bangsa ini juga tak luput untuk diberhentikan. Meski saat ini sudah menginjak tahun ajaran baru, dengan keterpaksaan hampir seluruh siswa di penjuru negeri harus melakukan proses belajar dari rumah yang sekarang diistilahkan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Yang baru-baru ini menimbulkan polemik yang cukup mencuat di semua kalangan yang bersentuhan dengan pendidikan. Bukan tanpa alasan, proses belajar mengajar dari jarak jauh ini memang memberi beban tersendiri bagi sebagian kalangan. Karena harus merelakan berapa meteri berupa aspek finansial, tenaga dan juga waktu. Sehingga banyak muncul curhatan oleh para orang tua peserta didik di media sosial mereka.
Dengan serempak mereka mengeluarkan sindiran halus dengan maksud menuntut agar masalah ini bisa terselesaikan dengan jalan keluar yakni membuka kembali sekolah seperti sedia kala. Lantas apa saja sih masalah yang dihadapi oleh wali murid sampai- sampai melakukan hal sedemikian? Simak sampai habis artikel ini.
Telah kita ketahui bersama bawasanya saat ini metode pembelajaran jarak jauh merupakan bentuk upaya kebijakan pemerintah khusunya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tetap menjalankan roda pendidikan di masa pandemi yang menakutkan ini.
Kebijakan tersebut diambil tentu saja melalui pertimbangan yang cukup matang . Mengingat, anak-anak sangat rawan untuk terinveksi virus Corona ini. Terlebih bagi mereka yang berusia dini sangatlah sulit untuk diarahkan melakukan protokol kesehatan bila mana sekolah dibuka kembali.
Terlepas dari itu semua, di lain sisi ada orang tua yang saat merasa pusing perihal tersebut. Sebab, bersekolah dari rumah ini dinilai merepotkan dan memberatkan orang tua. Maka tak heran saat ini banyak orang tua yang mengeluhkan beberapa hal seperti harus menyiapkan handphone atau laptop yang harganya cukup menguras kantong.
Pembelajaran jarak jauh ini tak lepas dengan adanya dukungan dari teknologi khusunya gadget, benda yang sudah menjadi pegangan sehari-hari hampir seluruh orang. Kendati demikian, tak jarang masih banyak dijumpai orang tua yang tidak memiliki smartphone dan dengan susah payah mengumpulkan uang bagaimana caranya agar bisa membeli handphone untuk dipakai bersekolah.
Ditambah bagi mereka yang memiliki buah hati lebih dari satu, maka mereka harus juga mempersiakan gadget tambahan karena jam pembelajaran yang bersamaan sangatlah sulit untuk bergantian handphone. seperti kasus yang terjadi pada nenek dengan dua cucu di Jakarta yang setiap hari harus mendatangi rumah tetangga untuk meminjam ponsel agar cucu tetap bisa mengikuti segala arahan yang diberikan bapak ibu gurunya. Kasus itu patutnya digunakan sebagai gambaran kecil pedihnya pendidikan di luar sana.
Masalah lain yang menimpa orang tua siswa di kala pembelajaran jarak jauh ini adalah harus menyiapkan biaya lebih untuk membeli kuota internet. Tugas yang setiap hari diberikan oleh bapak ibu guru lewat internet ini memang mengharuskan orang tua selain menyiapkan gadget sebagai sarana belajar juga harus menyetok kuota agar mereka bisa menerima maupun mengirim tugas tersebut. Kuota internet yang harus dibeli setiap bulan bahkan setiap minggu ini akan menimbulkan biaya lebih dalam perekonomian rumah tangga dengan anak yang duduk di bangku sekolah.
Dengan serempak mereka mengeluarkan sindiran halus dengan maksud menuntut agar masalah ini bisa terselesaikan dengan jalan keluar yakni membuka kembali sekolah seperti sedia kala. Lantas apa saja sih masalah yang dihadapi oleh wali murid sampai- sampai melakukan hal sedemikian? Simak sampai habis artikel ini.
Telah kita ketahui bersama bawasanya saat ini metode pembelajaran jarak jauh merupakan bentuk upaya kebijakan pemerintah khusunya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tetap menjalankan roda pendidikan di masa pandemi yang menakutkan ini.
Kebijakan tersebut diambil tentu saja melalui pertimbangan yang cukup matang . Mengingat, anak-anak sangat rawan untuk terinveksi virus Corona ini. Terlebih bagi mereka yang berusia dini sangatlah sulit untuk diarahkan melakukan protokol kesehatan bila mana sekolah dibuka kembali.
Terlepas dari itu semua, di lain sisi ada orang tua yang saat merasa pusing perihal tersebut. Sebab, bersekolah dari rumah ini dinilai merepotkan dan memberatkan orang tua. Maka tak heran saat ini banyak orang tua yang mengeluhkan beberapa hal seperti harus menyiapkan handphone atau laptop yang harganya cukup menguras kantong.
Pembelajaran jarak jauh ini tak lepas dengan adanya dukungan dari teknologi khusunya gadget, benda yang sudah menjadi pegangan sehari-hari hampir seluruh orang. Kendati demikian, tak jarang masih banyak dijumpai orang tua yang tidak memiliki smartphone dan dengan susah payah mengumpulkan uang bagaimana caranya agar bisa membeli handphone untuk dipakai bersekolah.
Ditambah bagi mereka yang memiliki buah hati lebih dari satu, maka mereka harus juga mempersiakan gadget tambahan karena jam pembelajaran yang bersamaan sangatlah sulit untuk bergantian handphone. seperti kasus yang terjadi pada nenek dengan dua cucu di Jakarta yang setiap hari harus mendatangi rumah tetangga untuk meminjam ponsel agar cucu tetap bisa mengikuti segala arahan yang diberikan bapak ibu gurunya. Kasus itu patutnya digunakan sebagai gambaran kecil pedihnya pendidikan di luar sana.
Masalah lain yang menimpa orang tua siswa di kala pembelajaran jarak jauh ini adalah harus menyiapkan biaya lebih untuk membeli kuota internet. Tugas yang setiap hari diberikan oleh bapak ibu guru lewat internet ini memang mengharuskan orang tua selain menyiapkan gadget sebagai sarana belajar juga harus menyetok kuota agar mereka bisa menerima maupun mengirim tugas tersebut. Kuota internet yang harus dibeli setiap bulan bahkan setiap minggu ini akan menimbulkan biaya lebih dalam perekonomian rumah tangga dengan anak yang duduk di bangku sekolah.
Setelah melalui serangkaian permasalahan di atas maka akan timbul pernyataan siapakah pihak yang patut disalahkan ? pemerintah? Bukan, pemerintah dalam hal ini sebagai instansi tertinggi sudah tepat untuk mengambil keputusan merumahkan seluruh peserta didik.
Sebab keselamatan siswalah yang menjadi faktor utama kepada dan merekalah harapan bangsa di masa depan akan ditumpuhkan. Atau kita harus menyalahkan Menteri Pendidikan?
Hal ini juga salah, Menteri Pendidikan yang sudah tahu hiruk pikuk dalam kelembagaan pendidikan tentu sudah melakukan upaya terbaiknya dengan terus berusaha memberikan tayangan edukasi di televisi nasional. Hal ini adalah bukti bahwa Kementerian Pendidikan tak tinggal diam dalam menyikapi persoalan ini.
Keputusan Kemendikbud yang di naungi bapak Nadiem Makarim untuk sementara tidak membuka sekolah terlebih dahulu juga memiliki dalil yang kuat. Apalagi kalau bukan keselamatan siswa dan guru.
Proses belajar mengajar dengan tatap muka dinilai bisa menjadi klaster penyebaran COVID- 19 dan tentu saja membahayakan keselamatan kedua penggerak roda pendidikan ini. dan jika hal ini terjadi makan akan disayangkan sekali. kalau Kementerian Pendidikan kurang tepat untuk disalahkan dalam persoalan ini terus siapa lagi? Pihak sekolah? Tentu saja hal ini kurang tepat lagi.
Lembaga pendidikan khususnya sekolah hanyalah mengikuti instruksi dari atasan. Dan mereka melakukan itu semata-mata untuk menghindari suatu kejadian yang tidak diinginkan pada peserta didiknya. Dalam hal ini sekolah juga tidak bersalah.
Lantas siapa lagi jika semua lembaga kurang tepat untuk disalahkan? Ataukah kita harus menyalahkan diri sendiri? Sekali lagi jawabannya tidak, kita sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan sudah melakukan hal yang sepatutnya.
Mulai dari tetap dirumah sampai kontribusi untuk mendukung di khafila pendidikan. Jadi siapa sih sebenarnya yang salah? Dalam hal ini memang TIDAK ADA YANG SALAH karena semua lembaga maupun individu telah melakukan tugasnya sendiri dengan baik.
Semua telah berusaha semaksimal mungkin untuk terus memutar roda pendidikan dan juga tetap ikut serta menekan korban penyebaran COVID-19 dengan terus mematuhi segala peraturan yang ada. Dan kita terus meningkatkan kesadaran pada diri kita untuk terus melakukan hal yang kita bisa walau kecil. Karena semua ini akan bisa berakhir kalau kita mulai dengan diri kita masing-masing.